Ada kecenderungan di beberapa daerah angkutan umum tidak
lagi menjadi sarana transportasi utama warganya. Bahkan pada kenyataannya
angkutan umum untuk beberapa trayek terpaksa harus ditutup karena sepinya
penumpang, ini terjadi di Surabaya, Sidoarjo, Gresik dan banyak kota di Jawa
Timur.
Kenyataan pahit ini saya dengar sendiri dari tetangga saya
yang memiliki satu unit LYN atau mobil angkutan umum dengan trayek Jembatan
Merah ke Kenjeran, dia bercerita hanya di jam jam tertentu saja di tiap harinya
dia gunakan untuk menarik penumpang, selebihnya lebih baik duduk manis di
terminal daripada harus jalan mencari penumpang yang tidak mesti ada.
Terkadang dia juga malas berangkat karena mending di rumah
menunggu carteran dari sekolah langganannya untuk mengantar siswa mereka pergi
berenang, atau tetangga yang sedang butuh mobil carter untuk acara hajatan.
Dilema memang, di saat pemerintah kota berusaha mengurangi jumlah kendaraan
bermotor dan mencoba menarik masyarakat untuk naik angkutan umum.
Kalau anda sering melintas di dekat KBS atau Kebun Binatang Surabaya,
persis setelah jembatan Wonokromo di sisi sebelah kiri jalan ada Terminal Angkutan
Umum Joyoboyo, anda bisa lihat atau melintas sesekali waktu di samping
terminal, nampak jajaran mobil angkot atau Lynn berbaris rapi menunggu
penumpang. Dan yang aneh penumpang yang ditunggu hanya “satu dua yang terlihat”.
Terminal itu nyaris mati kalau saya boleh bilang.
Ya disaat kemacetan mulai tak terbendung di kota kota besar
macam Surabaya, harusnya angkutan umum menjadi alternatif pemecahan masalahnya.
Namun apa boleh buat, orang lebih memilih naik sepeda motor atau mobil pribadi
jika pergi ke tempat kerja atau untuk keperluan lainnya. Kredit sepeda motor
sekarang amat sangat mudah, bahkan tanpa DP atau Uang Muka sekalipun dan proses
verifikasi yang seadanya saja. Motor baru dengan DP lima ratus ribu rupiah dan
cicilan mungkin kurang dari satu juta rupiah per bulan sudah bisa didapat.
Memang kalau dihitung hitung naik motor sendiri jelas akan
jauh lebih hemat daripada naik angkutan umum. Kita coba buat perhitungan
sederhana, motor sekarang rata rata untuk pemakaian dalam kota konsumsi BBM nya
sekitar 30-40 km/liter. Jika jarak dari rumah ke tempat kerja kita ambil rata
rata sekitar 10 km, maka jarak tempuh pulang pergi adalah 20 km setiap harinya.
Dengan harga BBM premium atau pertalite di kisaran angka tujuh ribu rupiah per
liter. Maka dalam dua harinya kita hanya mengeluarkan biaya transportasi
sebesar 7 ribu rupiah saja. Coba bandingkan jika kita naik angkutan umum,
anggap saja ongkos sekali naik angkot adalah 5 ribu rupiah maka dalam 2 hari
kerja biaya transportasi yang harus dikeluarkan adalah 20 ribu rupiah.
Dilema juga bagi para pengguna transportasi umum di kota
besar yakni, karena terus berkurangnya jumlah armada maka waktu tunggu para
penumpang untuk menunggu angkutan menjadi lebih lama belum lagi “kebiasaan
NGetem” yang lama dari sopir, yang tentu saja membuat jengkel penumpang karena
takut terlambat masuk ke tempat kerja.
Seharusnya Surabaya harus cepat berbenah dalam membenahi
transportasi publik ini agar kemacetan tidak terus terjadi tiap harinya dan
menjadi satu hal yang harus di “mahfumi” warga kota. Surabaya harus segera
berkaca kepada Jakarta agar kemacetan tidak terjadi seperti halnya di ibukota negara
tersebut. Pembenahan masalah transportasi ini memang membutuhkan kebijakan yang
komprehensif dan menyeluruh tidak bisa hanya dengan membenahi satu sisi saja.
Pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor, tarif pajak yang
mahal untuk kepemilikan kendaraan bermotor lebih dari satu, tarif parkir yang
mahal di tempat tempat umum, serta banyak alternatif cara lainnya tidak mungkin
bisa diwujudkan jika tidak didukung kebijakan dari pemerintah pusat. Jika tidak
dimulai dan dipikirkan dari sekarang, jangan salahkan jika 5 atau 10 tahun lagi
Surabaya akan benar benar seperti Jakarta dalam hal kemacetan lalu lintasnya.
0 comments:
Post a Comment