Walaupun masih ada yang lebih senior daripada saya kuliah
sebagai PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad) namun tidak ada salahnya saya berbagai
pengalaman selama menuntut ilmu di gerbong kereta setiap akhir pekannya.
Lima tahun lebih beberapa bulan akhirnya saya “LULUS” dengan
stasus bukan CUMLAUDE tentunya karena
waktu kuliah yang diperlukan lebih dari 4 tahun hahhaaha. Mulai dari
pertengahan tahun 2010 kehidupan dan pengembaraan hidup saya dimulai di gerbong
kereta. Jakarta ke Surabaya dan sebaliknya bukan jarak yang terlalu jauh lagi
bagi saya karena hampir setiap akhir pekannya saya lalui.
Hampir semua stasiun di lintas Utara dan Selatan saya hafal
ciri-cirinya tanpa harus keluar melihat papan namanya. Suka duka menjadi “PJKA”
telah saya alami, di tahun 2010 sampai dengan 2011 akhir kalau saya tidak salah
dunia kereta api masih salah urus kalau boleh saya bilang. Percaloan tiket ada
dimana mana, penumpang tanpa tiket pun bisa masuk kedalam kereta api, kursi
kereta tanpa tempat duduk pun dijual, sistem penjualan tiket yang tidak
transparan apalagi saat libur panjang sekolah atau hari raya.
Penjualan tiket layaknya orang miskin mencari bantuan, antri
panjang dan berdesak desakan, panas serta tidak nyaman. Kehabisan tiket saat
beberapa menit loket dibuka itu hal yang wajar saat itu. Sebenarnya penjualan
tiket saat itu bisa dilakukan pemesanan 30 hari ke depan, namun untuk kelas
ekonomi saya sangat jarang bisa melakukan pemesanan untuk periode waktu seminggu,
dua minggu atau sebulan kedepan.
Hingga akhirnya setiap Jumat pagi saya selalu pergi ke
stasiun Senen untuk mengantri penjualan tiket keberangkatan Jumat sore dari
Jakarta ke Surabaya, begitu juga sebaliknya di hari Minggu pagi saya antri
tiket di Stasiun Surabaya Pasar Turi untuk membeli tiket jurusan sebaliknya.
Perjuangan yang melelahkan saya alami hampir 2 tahun untuk sekedar mengantri
tiket.
Lepas dari susahnya mendapat tiket kereta, beranjak ke dalam
gerbong kereta. Di kurun waktu tersebut, pedagang asongan bebas masuk dan
menjajakan barang dagangannya di dalam kereta. Saya hampir hafal semua pedagang
asongan yang secara rapi bergantian jadwal dari satu stasiun ke stasiun
lainnya. Belum lagi dijualnya tiket kereta tanpa tempat duduk menjadikan gerbong
penuh sesak, panas dan sangat tidak nyaman untuk kelas ekonomi.
Pedagang asongan kadang lebih galak daripada penumpang itu
sendiri, senggol menyenggol antara pedagang dan penumpang hal yang wajar.
Percekcokan kadang timbul antara keduanya, bahkan tak jarang antar penumpang
sendiri.
Merokok dalam gerbong adalah hal yang biasa, suasana dalam
gerbong sangat tidak layak sebenarnya untuk penumpang. Belum lagi para pencopet
dan penjahat lainnya yang bebas berkeliaran didalamnya. Kondektur kondektur
menjadi “GENDUT” karena mudahnya mencari uang saat itu karena banyak penumpang
“GELAP” tanpa tiket berkeliaran di kereta.
OOO sungguh memprihatinkan sekali wajah kereta api Indonesia
saat itu. Belum lagi……….. Bersambung
0 comments:
Post a Comment