Sejenak Mengenang Teman Kost di Jakarta


Hampir 6 bulan tak terasa kutinggalkan ibukota Jakarta untuk kembali ke kampung halaman. Kerasnya hidup di kota terbesar di Indonesia kujalani hampir lima tahun lebih. Uniknya selama merantau tersebut saya kerasan di tempat kost yang saya tinggali. Entah mengapa, mungkin karena biaya sewa kamar kost yang murah dan selama kurun waktu tersebut hanya naik sekali saja sebesar 50 ribu rupiah.

Lingkungan sekitar kost yang majemuk karena tidak hanya didominasi oleh warga asli namun juga pendatang. Wilayah yang saya tinggali saat itu adalah daerah Slipi Dalam di belakang hotel Menara Peninsula Slipi. Warga asli Betawi yang tinggal disitu rata rata memiliki rumah kost seperti halnya almarhum bapak kost saya seorang Betawi keturunan Arab.

Di tahun tahun awal saya kost hampir selalu memiliki cerita yang tidak mungkin saya lupakan. Saya menempati kamar kost no 8 dan tepat disamping saya adalah kamar no 7. Saat saya awal mencari kost di tempat ini entah kenapa saya langsung tertarik menghuni kamar tersebut. Alasan awalnya adalah ukuran kamarnya yang lebih luas dari kamar lain dan yang kedua adalah ada pintu keluar serta balkon karena terletak di lantai 2. Tentu saja sewa kamar ini lebih mahal dibanding dengan kamar lainnya. Walaupun di awal awal penjaga kost bilang bahwa kamar tersebut sering bocor saat hujan deras, toh saya tak bergeming dengan piihan saya.

Saya ingat tetangga sebelah kamar saya pertama kali adalah seorang cowok mungkin berumur 25 tahun saat itu dan bekerja sebagai seorang programmer WEB dilihat dari logatnya kemungkinan orang Makasar, namun entah mengapa beberapa bulan kemudian dia berpindah kost di tempat lain. Setelah itu berganti ganti penghuni hingga saya tak ingat persis berapa kali. Yang saya ingat hanya setelah itu ada penghuni cewek anaknya kecil mungil namun kasarnya minta ampun.

Entah mungkin sulit dibuka pintu kamarnya saat dia datang dan membuka pintu kamar selalu dengan cara kasar dan terakhir pintu dibanting dengan kerasnya. Sebenarnya dari logat bahasa dia saya tahu dia berasal dari daerah mana namun entah mengapa perilaku kasar dan menganggap seakan akan kamar sebelah tidak ada penghuninya. Pernah suatu saat pintu kamarnya macet total dan tidak bisa dibuka saat itu dia bersama pacarnya, mau tidak mau saya terpaksa membantunya. Pintu kamar terpaksa saya rusak dan si pacar mendobraknya dari sisi luar. Tak terucap sekalipun ucapan terima kasih dari bibirnya kecuali dari si pacarnya. Pengen gua tampar tapi gua sudah bapak bapak hmmmm.

Ada lagi penghuni sebelumnya yakni satu keluarga kecil, bapak serta ibu dan seorang anaknya laki laki yang saat itu mungkin berusia 5 tahun. Saya jarang sekali bertemu dengan si bapak, namun si ibu dan anaknya sering kadang si anak mampir ke kamar saya yang terbuka lalu saya beri dia cemilan. Dari mukanya kelihatan seperti orang Cina tapi tidak juga, mungkin orang luar Jawa yang berkulit putih. Namun yang tetap saya ingat sampai sekarang adalah kadang si Bapak datang tidak tentu berapa hari sekali, namun begitu datang selalu keluar teriakan teriakan dan cacian kepada istri dan anaknya. Kata kata yang tidak pantas kadang tidak cukup sesekali saya dengar benturan keras ditembok atau di pintu lemari saat dia datang, entah apa yang dibenturkan saya kurang tahu dan tidak mau tahu. Namun keesokan harinya saya sudah lihat lebam lebam biru di muka istrinya. Hmmm kasihan, saya hanya berharap mudah mudahan saja mereka cepat pergi dari kamar kost tersebut sebelum saya yang pergi. Doa saya akhirnya terkabul, hanya 2 bulan saja mereka menghuni kost sebelum akhirnya cabut entah kemana.

Saat dua tahun terakhir di Jakarta, kamar kost sebelah dihuni seorang cowok dari Bengkulu dan diseberang kamar lain dihuni bapak bapak setengah baya dari Salatiga. Dengan mereka berdua saya baru merasakan betapa enaknya memiliki teman senasib sepenanggungan di Jakarta. Keduanya sempat menjalani profesi yang sama yakni sebagai driver ojek online yang di saat itu booming dan penghasilan yang lumayan.

Saat saat tertentu kita bertiga pergi bersama jalan jalan menikmati udara Jakarta untuk kemudian makan makan ala kadarnya di warung pinggir jalan. Kadang saat malam sepulang kita beraktifitas ngumpul bareng ditemani kopi, gorengan, dan gitar kita bertiga melupakan kepenatan yang ada. Kebersamaan dengan mereka berdua tak dapat saya lupakan sampai saat ini. 

Suka duka kita lewati bersama saat itu bahkan saat Pakdhe mengalami kecelakaan saat akan pulang dari narik ojek, tanpa pamrih apapun kita berdua yang membawanya pulang ke kost dari tempat kejadian untuk kemudian merawat dan membawanya ke rumah sakit. Sementara penghuni kost lainnya hanya melongok saja ke kamar dan tidak bermaksud menanyakan apa yang terjadi dengan Pakdhe.

Terakhir mendapat kabar bahwa teman saya si pemuda asal Bengkulu tersebut telah pindah kost di daerah Ciledug sedangkan Pakdhe begitu saya memanggilnya masih bertahan di kost tersebut dan menempati kamar yang dulu saya huni. I missed you guys..

0 comments:

Post a Comment