Cincau orang Jakarta menyebutnya, Cao atau Janggelan kalau
orang Jawa kebanyakan bilang. Minuman yang kini hampir tersisih akibat dari
perkembangan jaman dan kalah dari minuman minuman kemasan botol yang beredar dimana-mana.
Namun kemunculan setiap bulan Puasa menjadikan kuliner satu
ini masih bisa bertahan dari gempuran minuman minuman modern. Es atau minuman
dingin kebanyakan orang Jawa menyebutnya, maklum di Sumatera Utara tepatnya
Medan dan sekitarnya orang menyebut Es Teh manis sebagai MANDI “Manis Dingin”,
jadi jika anda memesan es teh manis bisa saya pastikan pelayan restoran akan
kebingungan.
Es Cao dan sejenisnya seperti es dawet, es tebu tentu akan
lebih nikmat jika diminum saat terik panas matahari. Di daerah setelah
Bambe dan Warugunung atau saya lebih
senang menyebutnya seputaran Karang Pilang ada penjual es cao yang masih
bertahan sampai saat ini, lokasinya persis di tikungan setelah jembatan
Warugunung yang mengarah ke Driyorejo.
Seakan tidak pernah sepi, pedagang yang hanya bermodalkan
gerobak kecil dan naungan terpal dari panas matahari serta bangku panjang ini
setiap hari buka dari jam 10 pagi hingga dagangannya habis. Selain es cao
pedagang ini juga menjual berbagai macam gorengan seperti tahu goreng, tahu
isi, bakwan atau ote ote, dll lengkap dengan sambal petisnya.
Harga segelas es cao adalah 2 ribu rupiah sedangkan
gorengannya seribu rupiah saja. Yang menjadikan saya selalu mampir jika lewat
jalanan ini tentu saja rasa es cao nya yang memiliki rasa gula Jawa asli tanpa
tambahan pemanis buatan, warnanya agak keruh. Sedangkan cao nya sendiri seperti
halnya kebanyakan lainnya tidak ada yang istimewa.
Satu gelas saja selalu tidak
cukup bagi saya, apalagi jika suasana sedang panas panasnya. Dan yang membuat
saya tenang adalah saya tidak pernah
batuk sehabis minum es Cao di tempat yang satu ini.
0 comments:
Post a Comment